NENEK TUA MEMBERSIHKAN DAUN DIMUSIM GUGUR, ALASANNYA BIKIN HARU BANGET



SEORANG pemuda duduk sendiri di taman. Di pangkuannya terhampar sebuah buku yang masi terbuka. Di sebelah kanannya, sisa makanan berhimpit dengan botol minuman. Hari itu adalah awal musim gugur di tahun ini. Tak heran banyak sekali daun berjatuhan. Tersirak. Begitupun di bangku tempat pemuda itu duduk.

Sang pemuda masih menikmati sore itu dengan membaca. Tangannya membolak-balik halaman buku. Setiap kali selesai membaca beberapa paragraf, matanya tak lepas dari urutan kata dalam buku. Menelusuri setiap kalimat yang tersusun di sana. Tak ada rasa terganggu dengan daun-daun yang sesekali jatuh menimpahnya. Sementara di kejauhan , ada beberapa anak kecil berlari. Mereka bermain , menikmati matahari sore yang indah itu.
Srekkk…. srekkk . Terdengar langkah.pemudah itu menoleh. Srek..srek…srek. terdengar lagi langkah kaki bergesekan dengan daun-daun. Seorang ibu tua sedang memunguti daun-daun. Tangan kirinya mengenggam kantung kain. Isinya daun-daun kering. Pemuda itu tertegun. Heran. “Ibu sedang apa?” “Aku sedang mengumpulkan daun.” Mata tuanya terus menjelajah, mengamati hamparan daun di taman itu. “Aku sedang mencari daun-daun terbaik untuk kujalin menjadi mainan buat anak-anak di sana.”
Satu dua daun dimasukkan ke kantung kain. Pemuda itu beringsut. Buku didepannya diletakkan. Ia kembali bertanya, “Sejak kapan ibu lakukannya?”
“Setiap musim gugur aku lakukan ini untuk anak-anak. Akan kubuatkan selempang dan mahkota daun buat mereka. Jika aku dapat banyak daun, akan kubuatkan pla selubung-selubung ikat pinggang . Ah, mereka pasti senang.”
Mata tua itu berbnar. Syal di lehernya berjuntai di bahu. Tanganya kembali memasukkan beberapa daun.
“Tapi, Bu, sampai kapan ibu lakukan ini? Anak-anak itu pasti akan membuatnya semuanya rusak setiap kali mereka selesai bermain. Lagipula, terlalu banyak daun yang ada di sini. Ini musim gugur, daun itu terus jatuh layaknya jan,” lagi-lagi si pemuda bertanya. “Apa ibu tak pernah bepikir untuk berhenti?”
“Berhenti? Berpikir untuk berhenti? Memang, anak-anak itu akan selalu merusak setiap rangkaian daun yang kubuat. Mereka juga akan selalu membuat mahkota daunku kayak. Selempang daunku juga akan putus setiap kai mereka selesai bermain. Tapi, itu semua tak akan membuatku berhenti.”
Ibu tua itu menarik nafas. Syal di lehernya makin dipererat. “Masih ada ribuan yang harus kupungut di sini. Masih ada beberapa kelok jalan lagi yang harus kutempuh. Waktuku tak cukup untuk mengambil semua daun di sini. Tapi, aku tak akan berhenti.”
“Akankah au behenti dari kebahagiaan telah kutemukan? Akankah aku ingin berhenti dari memandang kegembiraan dan binar-binar mata anak-anak itu? Akankah aku menyerah dari kedamaian yang telah aku rasakan setiap gugur itu?” tanyanya retoris.
“Tidak, nak! Aku tidak akan berhenti berusaha untuk kebahagiaaan itu. Aku tidak akan berhenti hanya karena koyaknya mahkota daun atau ribuan daun lain yang harus kupungut.”
Tangan tua itu kembali meraih sepotong daun. Lalu, dengan suara pelan, ia berbisik, “ingat nak, jangan berhenti. Jangan pernah berhenti untuk berusaha.” Larik-larik senja telah muncul, menerobos sela-sela pohon, membentuk sinar-sinar panjang, dan berpendar pada tubuh tua itu.
Teman, adakah kita pernah merasa ingin berhenti dari hidup ini? Adakah kita pernah merasa gagal? Adakah kita berpikir untuk tak melanjutkan impian-impian itu?
 Ya, apakah kita harus berhenti berusaha ketika melihat “mahkota-mahkota daun” impian kita koyak? Haruskah kita berhenti saat “selempang daun” harapan yang kita sandang putus? Akankah kita menyerah saat “rangkaian daun” kebahagiaaan kita tak terbentuk? Saya percaya, ada beragam pilihan muncul di kepala saat kenyataaan pahit hadir.
Tapi, ingat perkataan ibu tua tadi. “jangan berhenti. Jangan pernah menyerah untuk kebahagiaaan yang akan kita raih.”
Teman, ibu tua itu benar. Masih ada berjuta daun-daun harapan lain amg masih dapat kita pungut. Di depan sana, masih terhampar berjuta daun impian lain yang memberikan kita beragam pilihan. Berjuta daun kebahagiaaan lain masih menunggu untuk kita rajut.
    

Next PostNewer Post Previous PostOlder Post Home

1 comment: