Suatu
hari di sebuah hutan, diadakan lomba lari.
Semua hewan telah berkumpul di titik awal, bersiap menjadi nomor satu .
Hewan-hewan yang terkenal sebagai pelari ulung, berbaris rapi menunggu aba-aba.
Kancil, kelinci, kijang, juga, harimau berada di baris pertama.
Mereka akan berlari
berkeliling. Sebagai tanda berputarnya, dipilih pohon yang paling rindang di
batas hutan. Sebagai wasitnya, diangkat seekor pipit yang bersuara nyaring.
Satu. Dua Tiga! Peluit telat dibunyikan,
semuanya pun berpacu menuju titik akhir.
Debu mengepul sepanjang jalur
lomba. Hewan-hewan lain bersorak meyemangati peserta lomba. Sang pemenang
tampaknya sudah dapat ditebak. Kancil, sang juara telah menjejakkan kakinya di
pohon itu. Hewan itu tampak senang. Dia meloncat-loncat kegirangan. “Akulah si
pelari ulung,” teriaknya sombong. “Tak ada yang mampu mengalahkanku dalam
berlari. Siapa saja boleh berpacu denganku, kujamin semuanya akan menyerah.”
Kancil terus sesumbar.
“Jangan sombong,
Kancil,” terdengar suara dari balik pohon. Rupanya kura-kura. “Ah, kamu hewan
lamban, mau berpacu denganku? Ayo, kamu tentukan tempatnya!” tantang Kancil
“Baiklah kalau itu maumu,” jawab kura-kura. “Kita akan berlomba mencari bukit,
dan kembali lagi ke sini, bagaimana?” setujuh! “Seru Kancil.
Jalur yang akan ditempuh
begitu berat. Turun naik dan sangt berbatu. Keduanya bersiap. Kancil
berloncat-loncat, kura-kura merenggangkan keempat kakinya. Dan ya… mulai! Segera
saja Kancil melesat, jauh meninggalkan kura-kura.
Kancil bersemangat. Namun
tenaganya melemah saat mulai menanjak. Nafasnya terenga-engah, sedangkan jalur
mendaki itu masih panjang. Kancil tampak sangat kepayahan. Kura-kura, yang sejak
awal melangkah dengan mantap, akhirnya bisa menyusul Kancil. Masih dengan
langkah yang teratur, kura-kura menusuri jalan menanjak itu dengan lancar.
Satu…dua…satu…dua, keempat kakinya menampaki jalur berbatu.
“Masih ingin melanjutkan lomba?”
tanya kura-kura kepada Kancil. Hewan ramping yang kelelahan itu tak menjawab.
Tampaknya, kancil sudah menyerah kura-kura masih tetap melenggang dengan
tenang. Dia percaya, bukan hewan yang paling cepat yang akan memang di medan
menanjak ini. Tapi, ketekunan dalam melangkahlah yang menjadi jawabannya.
Teman dalam lomba tak selalu
yang paling depan yang menjadi pemenang. Sering kali yang paling memahami
medanlah yang menjadi juara. Setidaknya kenyataan itu di tampilkan dalam amsal
diatas.
Kancil memang heawn berlari
cepat tapi tak selamanya jadi juara. Kura-kura dikenal lamban, namun tak
selamaya jadi pecundang. Dua hal ini
menjadi nyata di medan lomba mendaki. Di kondisi itu, di butuhlan lang klah
teratur berpadu dengan ketekunan untuk tetap berpacu mungkin terlihat lamban.
Tapi ketekunan selalu punya cara tersendiri untuk bisa menang.
Hidup itu layak nya lomba
lari. Karenanya, kita beranggapan yang paling cepatlah yang akan menjadi
pemenang. Yang paling buruk melajulah itulah yang jadi juara.
Namun, kita akhirnya sadar,
tak selamanya rumus itu benar. Sebab, hidup kita adalah medan lomba
berbukit-berlembah naik- turun. Ada jalan mendaki, ada jalan menurun. Saya
kawatir, jika kita menganggap yang paling cepatlah yang jadi pemenang dalam
hidup, akan tercipta insan-insan tak peka dengan sekitar. Kita akan menjadi
orang yang melulu berpacu dan berpacu.
Teman adakah kita meniru sang
kura-kura? Bisakah kita menjadi orang yang tekun dalam melangkah, securam
apapun jalan mendaki di depan? Bisakah kita menjadi orang yang tetap runtun
dalam menyusuri jalan menurun, dan tak terguda untuk tergelincir? Saya percaya,
jalan mendaki dan menrun dalam hidup adalah karunia Allah untuk kita pahami.
Maka, siapakah kaki-kaki kita untuk tekun menapakinya.
Nah, teman, selamat berlombah.
0 comments:
Post a Comment