Suatu ketika ada kapal tenggelam akibat
diterjang badai. Tak ada penumpangnya yang tersisa. Kecuali, satu orang yang
berhasil mendapatkan pelampung. Namun, nasib baik belum seutuhnya berpihak
kepada pria itu. Dia terdampar ke sebuah pulau kecil tak berpenghuni. Sendiri.
Tanpa bekal makanan.
Orang itu berdoa kepada Tuhan minta diselamatkan. Usai
berdoa, ia pandangi penjuru cakrawala. Berharap ada kapal datang. Tapi, tak ada
tanda-tanda ada kapal yang di harapkan tiba. Ia berdoa lagi lebih khusyuk.
Kemudian, menatap jauh kelaut lepas. Tidak ada kapal datang. Sekali lagi pria
itu berdoa, tapi tak ada juga kapal yang diharapkan. Ya, pulau tempatnya
terdampar telalu terpencil. Hampir tidak ada kapal lewat didekatnya.
Akhirnya, pria itu tidak berdoa lagi. Ia telah lelah
berharap. Lalu, ia menghangatkan badan. Di kumpulkannya pelepah nyiur untuk
membuat perapian. Setelah tubuhnya terasa nyaman, pria utu membuat
rumah-rumahan sekedar tempat melepas lelah. Di susunnya semua nyiur dengan
cermat agar bangunan itu kokoh dan dapat bertahan lama.
Keesokan harinya, pria malang ini mencari makanan. Di
carinya buah-buahan untuk penganjal perutnya yang lapar. Semua pelosok di
jelajahi hingga kemudian ia kembali kegubuknya. Namun, ia terkejut. Semuanya
telah hangus terbakar, rata dengan tanah. Hampir tak bersisa. Gubuk itu
terbakar karena pri a itu lupa memadamkan perapian. Asap membumbung tinggi ke
angkasa. Hilanglah semua kerja keras semalaman.
Pria itu berteriak marah, “Tuhan, mengapa kau lakukan ini
padaku. Mengapa? Mengapa…?” Teriaknya melengking menyesali nasib.
Tiba-tiba terdengar suara peluit.
Tuittt…tuuitttt….Ternyata itu suara sebuah kapal yang sedang mendekat. Kapal
itu merapat ke pantai. Beberapa orang turun menghampiri pria yang sedang
menangisi gubuknya itu.
Tentu saja pria itu terkejut. “Bagaimana kalian bisa tahu
kalau aku ada disini?” tanyanya penuh keheranan.
“Kami melihat simbol asapmu!” jawab salah seorang awak
kapal.
Teman, itulah kita. Kita adalah orang manja dan pemarah
saat ditimpah musibah. Bahkan, selalu menilai bahwa nestapa yang kita terima
adalah penderitaan yang begituh berat dan tak pernah dirasakan oleh siapapun.
Itulah sebabnya kenapa kita begitu mudah mengeluh, marah, bahkan mengmpat.
Teman, tentu sikap itu tidak tepat. Seharusnya, musibah
tidak boleh membuat kita kehilangan hati kita. Tuhan harus selalu ada di hati
ita, walau dalam keadaan yang paling berat sekalipun. Sebab, Tuhan itu tidah
tidur. Ia tahu betul kegelisahan dan jeritan hati kita. Dia Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Dan kasihNya selalu datang kepada kita. Pada saat dan cara yang
idak disangka-sangka. Hanya saja kita terlalu kerdil untuk memahaminya.#
0 comments:
Post a Comment